Tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat

Oman Fathurahman

Beberapa sarjana meyakini bahwa tarekat Syattariyyah bukan merupakan tarekat pertama yang masuk ke Sumatra Barat, karena sebelumnya telah ada tarekat Naqsybandiyyah, yang kemungkinan dibawa masuk ke wilayah ini pada paruh pertama abad ke-17. Akan tetapi, Schrieke mengisyaratkan bahwa tarekat Naqsybandiyyah baru masuk ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 1850-an. Hal ini diamini oleh sarjana lain semisal Martin van Bruinessen, dan Karel A. Steenbrink.

Jika pendapat kedua di atas benar, maka tentu saja tarekat Syattariyyah jauh lebih dahulu hadir di Sumatra Barat, karena beberapa sumber lokal menyebutkan bahwa tarekat ini telah masuk ke Sumatra Barat pada akhir abad ke-17, ketika Syaikh Burhanuddin kembali dari Aceh setelah belajar dengan Abdurrauf al-Sinkili.

Naskah-naskah Syattariyyah lokal bahkan cenderung menegaskan bahwa tarekat Syattariyyah merupakan jenis tarekat pertama yang masuk ke Sumatra Barat. Naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau misalnya, menyebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin membawa tarekat Syattariyyah ke wilayah ini pada tahun 1070 H/1659 M. Mulai saat itu, demikian naskah ini menjelaskan, corak Islam yang ada di Minangkabau hanya satu, yaitu:

“…agama Islam yang bermazhab Imam Syafi’i dan beri’tikad memakai iktikad ahl al-sunnah wa al-jama’ah, dan dalam bertasawuf memakai tarekat Syattari…” (h. 73).

Tarekat Naqsybandiyyah sendiri disebutkan baru masuk sekitar 127 tahun kemudian. Jika perhitungannya dimulai dari tahun kedatangan Syaikh Burhanuddin di atas, maka berarti tarekat Naqsybandiyyah masuk ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 1786 M. Dalam Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau tertulis:

“…maka seratus dua puluh tujuh tahun kemudian barulah datang tarekat naqsyabandi dalam bertasawuf yang zikir tarekatnya zikir qalbi dengan kalimat Allah Allah, yang dalam hati amalnya, ada murid bertawajjuh sesudah sembahyang magrib, dan bersuluk selama empat hari, yang dibawa oleh seorang ulama yang duduk mengajar di kampung Cangking Koto Candung Ampat Angkat, yang dimasyhurkan orang Tuan Syaikh Cangking (Syaikh Koto Tuo), bilangan bulannya bernama bilangan lima yang dua hari dahulunya dari bilangan taqwim yang dibawa Syaikh Burhanuddin”. (h. 73)

Terlepas dari tepat atau tidaknya angka tahun yang disebutkan, asumsi bahwa tarekat Syattariyyah masuk terlebih dahulu ke Sumatra Barat dibanding tarekat Naqsybandiyyah sesungguhnya cukup masuk akal, terutama jika memperhatikan sumber-sumber lokal yang ditulis oleh kalangan ulama Syattariyyah di Sumatra Barat, yang cenderung memperlihatkan sikap sebagai pihak yang “bertahan” terhadap berbagai kecenderungan faham dan ritual tarekat Naqsybandiyyah yang sedikit banyak dianggap berbeda dengan faham dan ritualnya, dan oleh karenanya dianggap mengancam pengaruh atau kharisma para ulama Syattariyyah tersebut di kalangan masyarakat.

Seperti dikemukakan Schrieke, pada awal abad ke-19, ketegangan antara tarekat Syattariyyah dan tarekat Naqsybandiyyah memang tak terhindarkan. Bahkan, pertentangan antara dua kelompok tarekat tersebut pada gilirannya menjadi bagian dari faktor penyebab munculnya konflik sosial di Sumatra Barat, di samping juga faktor lainnya seperti konflik antara ulama tua dan ulama muda.

Berkaitan dengan konflik antara tarekat Syattariyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah ini, Dobbin misalnya mencatat terjadinya pertentangan sengit yang menyebabkan permusuhan terbuka antara pusat Syattariyyah di Ulakan dengan Taram dan Talawi yang berorientasi pada tarekat Naqsybandiyyah.

Tetapi, sejauh menyangkut ketegangan tersebut, tampaknya yang menjadi pangkal utamanya bukan semata-mata persoalan perbedaan faham dan ajaran, melainkan juga dipengaruhi oleh masalah rebutan pengaruh dan kehormatan. Beberapa sumber misalnya menginformasikan bahwa Syaikh Jalaluddin, seorang Syaikh tarekat Naqsybandiyyah paling berpengaruh dari Cangking telah berhasil menarik perhatian sejumlah pengikut tarekat Syattariyyah di Ulakan untuk berpindah menjadi pengikut tarekat Naqsybandiyyah. Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya konflik terbuka antara guru-guru tarekat Naqsybandiyyah dengan guru-guru dari tarekat Syattariyyah.

Tentu saja, persoalan yang menyangkut perbedaan faham dan ajaran juga menjadi salah satu pemicu terjadinya ketegangan tersebut. Ini pun dengan catatan bahwa, sejauh data yang dijumpai, hal yang dipertentangkan itu bukan menyangkut doktrin-doktrin tasawuf itu sendiri, melainkan lebih berorientasi pada aspek syariat.

Para pengikut tarekat Naqsybandiyyah memang dikabarkan tidak menyukai ajaran martabat tujuh, sebuah ajaran tentang teori penciptaan alam yang bersumber dari kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karangan al-Burhanpuri. Ajaran ini ditafsir ulang oleh Abdurrauf al-Sinkili, sebagai khalifah tarekat Syattariyyah, dalam berbagai karangannya, dengan penafsiran yang cenderung lebih kompromistis.

Persoalannya, penting dicatat bahwa dalam konteks Sumatra Barat, ajaran itu sendiri ternyata tidak diteruskan dan dikembangkan oleh para pengikutnya, beberapa naskah lokal bahkan menjelaskan bahwa para penganut tarekat Syattariyyah melucuti ajaran tersebut dari keseluruhan ajarannya (lihat Kitab Menerangkan, h. 70), sehingga, sejauh berkaitan dengan ajaran wahdat al-wujud ini, corak tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat menjadi relatif berbeda dengan corak tarekat Syattariyyah yang dikembangkan, misalnya, oleh al-Sinkili di Aceh, kendati dalam beberapa hal lain, seperti menyangkut ritual zikir atau penekanan pada aspek syariat, tidak ada perbedaan yang terlalu tajam di antara keduanya.

Di antara persoalan yang sering menjadi arena perdebatan antara tarekat Naqsybandiyyah dengan Syattariyyah adalah menyangkut penetapan awal dan akhir bulan puasa Ramadan. Schrieke misalnya melaporkan bahwa selama bertahun-tahun, di sekitar Padang Panjang selalu terjadi pertentangan sengit antara Syattariyyah dan Naqsybandiyyah menyangkut persoalan tersebut. Demikian halnya di Pariaman, hingga sekarang masih terjadi perbedaan pendapat antara penganut tarekat Syattariyyah di Ulakan dengan penganut Naqsybandiyyah di Cangking mengenai awal dan akhir bulan puasa.

Biasanya, para penganut Syattariyyah merayakan puasa Ramadan atau atau dua hari kemudian setelah para penganut tarekat Naqsybandiyyah merayakannya, sehingga karenanya mereka mendapatkan julukan “orang puasa kemudian”, sementara tarekat Naqsybandiyyah disebut orang sebagai “orang puasa dahulu”. Hal ini, persis seperti apa yang digambarkan dalam kutipan di atas tentang tarekat Naqsybandiyyah, yakni: “…bilangan bulannya bernama bilangan lima yang dua hari dahulunya dari bilangan taqwim yang dibawa Syaikh Burhanuddin…”.

Akan tetapi, konflik lebih tajam yang melibatkan para pengikut tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat ini sesungguhnya terjadi ketika pada tahun 1804, tiga Haji putra Minangkabau kembali dari Tanah Suci Makkah setelah menuntut ilmu selama beberapa tahun. Ketiga Haji tersebut adalah Haji Miskin dari Pandai Sikat Padang Panjang, Haji Abdurrahman dari Piyobang Payakumbuh, dan Haji Sumanik dari Batusangkar.

Tampaknya, pemikiran keagamaan ketiga Haji tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan pembaharuan kaum Wahabi di Makkah, yang diajarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (1115-1206 H/1703-1792 M), seorang ulama asal Nejd di Arab Timur. Pandangan-pandangan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ini banyak yang sejalan dengan pandangan-pandangan keagamaan seorang ulama pembaharu sebelumnya, yakni Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), yang mengkampanyekan agar, dalam beragama, umat Islam kembali kepada al-Quran dan mencontoh Nabi.

Gagasan-gagasan Wahabi seperti inilah yang kemudian dibawa oleh tiga Haji di atas, ke tanah airnya, Minangkabau. Mereka berpandangan bahwa di kalangan masyarakat Minangkabau, khususnya di kalangan para penganut tarekat Syattariyyah, banyak dilakukan praktek-praktek keagamaan yang bersifat bid’ah, khurafat, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, sehingga karenanya harus “diluruskan”, atau bahkan diperangi dengan jalan kekerasan jika diperlukan.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, gagasan-gagasan yang diusung oleh tiga Haji itu ternyata mendapat tantangan keras dari guru-guru tarekat Syattariyyah, sehingga tidak dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan. Haji Miskin misalnya, sampai harus berpindah-pindah tempat tinggal dari satu kampung ke kampung lainnya, karena selalu dimusuhi oleh para penganut tarekat Syattariyyah yang belum bisa menerima faham pembaharuannya. Terakhir, Haji Miskin menyelamatkan diri ke Bukit Kamang, dan pada 1811 ia meneruskan gerakannya di Aie Tabik, di Luhak Lima Puluh Kota.

——————-
versi lengkap tulisan ini, silahkan lihat di sini.

Leave a comment